Mengawali
tulisan ini, saya akan mengetengahkan sebuah cerita yang saya kutip dalam buku
tentang Model Pembelajaran Nilai oleh Rohmat Mulyana. Cerita ini adalah kisah
nyata yang dialami oleh seorang Ustadz muda yang berbakat. Awal ceritanya
dimulai pada saat beliau diundang pada acara pesta kenduri di sebuah desa
terpencil. Beliau diminta tuan rumah untuk memberikan tausiyah pada malam pesta
pernikahan anaknya yang pertama. Pak Ustadz menerima undangan tersebut, dan bersedia
hadir untuk memberikan tausiyah. Warga desa sangat bergembira karena beliau
bersedia hadir dan mereka sangat antusias menunggu kedatangan pak Ustadz hingga
kelender pun ditandainya untuk mengingatkan acara tersebut.
Tanggal
yang sudah ditetapkan akhirnya tiba. Sore hari sebelum acara tausiyah
berlangsung, beliau berangkat dari rumahnya menuju desa tempat acara tersebut. Oleh
karena, jarak antara rumah beliau dan tempat acara sangat jauh, maka beliau
berangkat lebih awal. Perjalanan akan ditempuh oleh pak Ustadz kurang lebih 6
jam. Beliau ditemani oleh ponakannya dengan mengendarai mobil pribadinya yang
dibelinya beberapa tahun yang lalu. Di luar dugaan, jalan sepanjang 30 km
sebelum mencapai lokasi rusak parah. Jalanannya berbatu-batu, kubangan air, dan
lekukan jalan yang tak beraturan, sehingga beliau harus melaluinya dengan
ekstra pelan-pelan dan sangat hati-hati. Sayap mobilnya sesekali terbentur ke
badan jalan, sehingga beliau harus turun untuk memastikan apakah jalan yang
harus dilewati membahayakan atau tidak. Inilah perjuangan Pak Ustadz, demi
mengajarkan ilmu, beliau harus rela dan ikhlas walaupun tantangan dan hambatan
begitu berat di depan mata.
Akhirnya,
Pak Ustadz tiba di lokasi tersebut setelah terlambat kurang lebih 1 jam dari
jadwal yang telah ditetapkan. Beliau sejenak beristirahat melepaskan lelah
dengan minum secangkir kopi. Setelah itu, beliau ke panggung untuk menyampaikan
tausiyahnya. Penampilan pak Ustadz sangat memukau bagi warga desa tersebut. Rasa
lelah selama perjalanan terkalahkan oleh semangat yang berkobar dan berapi-api
untuk memberikan pencerahan jiwa umat Islam di desa tersebut. Tuan rumah pun
merasa sangat puas dengan kehadiran Pak Ustadz. Warga desa juga sangat puas
karena mereka pulang membawa ilmu yang jarang mereka dapatkan.
Menjelang
pulang, tuan rumah mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiran Pak Ustadz di acara tersebut. Ketika
Pak Ustadz bersalaman untuk pamit, tuan rumah menyelipkan sebuah amplop ke saku
baju pak Ustadz dan berkata “Maaf isi amplopnya tidak besar karena saya tidak
bermaksud mengurangi makna rasa ikhlas Pak Ustadz dalam mengamalkan ilmu agama.”
Pak Ustadz pun menjawab, “tidak apa-apa, pak. Ini adalah tugas saya sebagai
seorang Ustadz. Seperti biasanya, beliau tidak mempunyai target jumlah bayaran
pada setiap tausiyahnya. Tetapi kali ini, hati kecilnya sempat berhitung, sebab
perjalanan yang dilalui cukup jauh dan melelahkan. Selain itu, tuan rumah
tampaknya orang terpandang di desanya.
Di
tengah perjalanan pulang, mobil Pak Ustadz mogok dan harus diderek. Mesinnya sulit
dihidupkan dan sayap mobilnya penyok akibat beberapa kali terbentur di badan
jalan. Setelah diperiksa oleh pihak bengkel, mesin mobilnya harus turun dan
biaya yang harus dikeluarkan sekitar 3 juta. Seketika, Pak Ustadz teringat
dengan amplop yang diselipkan di saku bajunya. Beliau memeriksa sakunya dan
dibukanya amplop tersebut, ternyata hanya berisi Rp. 350.000,-. Betapa herannya
hati pak Ustadz dan berkata dalam hati “inikah makna sebuah keikhlasan?” sambil
berpikir merenungi masa depan profesinya.
Berdasarkan
cerita di atas, banyak pelajaran yang dapat dipetik dari makna sebuah
keikhlasan. Keikhlasan adalah sebuah kata yang sangat mudah diucapkan, namun
sangat berat ketika direalisasikan dalam tindakan. Betapa banyak orang yang
selalu mengatakan secara lisan bahwa saya ikhlas dan rela dengan semua ini,
namun dalam hati menggerutu dan tidak menerimanya.
Keikhlasan
mengandung arti penyerahan segala ikhtiar yang ditujukan semata-mata hanya
kepada Allah swt. Inilah arti keikhlasan yang hakiki. Dalam setiap tindakan
yang dilakukan, perasaan ikhlas itu harus melekat di dalam tindakan tersebut.
Tindakan yang dilakukan seperti shalat, puasa, haji sebagai ibadah mahdah
harus dilaksanakan secara ikhlas. Begitu juga ibadah gairu mahdah seperti bekerja, menuntut ilmu, membantu orang lain
dan sebagainya harus dilakukan secara ikhlas. Oleh karena itu, keikhlasan
menjadi kunci keberhasilan dalam beramal.
Orang
yang ikhlas akan merasakan hidupnya memiliki makna karena keikhlasannya selalu
disandarkan kepada Allah swt. Dengan demikian, seseorang yang selalu menabur
benih keikhlasan dalam setiap tindakannya akan menuai hasil ketenangan,
kedamaian, kebijaksanaan dan kesejahteraan. Keikhlasan yang ideal adalah
keikhlasan yang tidak dapat ditukar dengan hal-hal yang sifatnya duniawi dan
tidak dipengaruhi oleh apapun termasuk sesuatu yang sifatnya materil. Oleh
karena itu, segala perbuatan atau tindakan yang kita lakukan harus didasarkan
pada keikhlasan.
Mampukah
kita mengisi amal perbuatan kita dengan disandarkan pada nilai keikhlasan?
Hanya orang-orang yang selalu mensucikan diri yang mampu melakukannya dan
orang-orang yang berbuat baik semata-mata karena Allah swt. yang dibuktikan
melalui kesungguhan untuk berbuat dan konsistensi bertindak. Inilah keikhlasan
yang sejati.
Menutup
tulisan ini dengan mengutip firman Allah swt. dalam QS. Al-AnĂ¡m Ayat 162, “Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.”
Ayat ini mengajarkan kepada kita untuk selalu ikhlas dalam berbuat dan
bertindak dengan tujuan semata-mata hanya karena Allah swt. bukan karena hal
lain. Oleh karena itu, berbuat baiklah dengan penuh keikhlasan karena Allah
swt. telah berjanji untuk melipatgandakan 70x amal perbuatan baik yang
dilandasi dengan keikhlasan.
Bone, 4 Agustus 2020 Samsinar S.
Masya Allah... Allah lebih tau yv terbaik buat hambaNya
BalasHapusKeikhlasan lahir jika kt memegang prinsip cukup sy dan Allah tahu hatiku. Mantap ndi
BalasHapusLuar biasa ibu Wadek mantul
BalasHapus